Sikunir Sunrise

Ketika ke Dieng, kami menyempatkan untuk melihat matahari terbit dari Bukit Sikunir. Siapa kami? Selain aku, ada tiga teman-teman bloggerku yang tercinta, yakni: Mbak Alaika Abdullah, Mbak Ririe Khayan, dan Mbak Idah Ceris. Kesemuanya pakai nama panggung. Aku jadi pengen bikin nama panggung nih... apa ya... Anyway, untuk melihat sunrise kan kita perlu bangun pagi dong ya. Ibu pemilik homestay menyarankan untuk start go jam empat pagi dan kami pun menyetel alarm.

Sudah tentu, masing-masing dari kami menyetel alarm di waktu yang berbeda-beda. Paling pagi alarm Mbak Ririe sudah nyala, sekitar jam setengah tiga. Tapi beliau sendiri kagak bangun! Jam tiga kayaknya alarm Mbak Alaika nyala. Aku pun terbangun sekitar setengah empat kurang dan melihat tiga tante-tante itu sedang berdandan. Setelah menyiapkan tas dan duduk manis tinggal berangkat, masih saja pula tiga tante-tante itu berdandan.

Eh, kok ya kata Mbak Idah, mas supir rentalnya nggak bisa ditelepon. Huaaa... Panik panik. Enggak ding... Kita pun cari ke luar, eh jebul mobilnya ada di samping homestay persis dan si masnya ada di dalam. Jam empat kurang sedikit, kami pun berangkat. Pakai acara nyasar karena masnya sebelumnya belum pernah mengantar ke sana. Setengah jam lebih kami pun sampai di Desa Sembungan, desa yang katanya tertinggi di Pulau Jawa, di ketinggian ± 2500 mdpl. Bukit Sikunir terletak di desa itu.

Tebak iku gunung opo... tak kasih hadiah kalau bisa jawab.

Untuk mencapai area di Bukit Sikunir yang merupakan tempat melihat sunrise, bukan puncak tapi opo yo istilahe, mbuh, dibutuhkan sekitar 20 hingga 30 menit berjalan kaki. Treknya pun sudah jelas jadi tak perlu bingung. Kemarin pun karena kami sampai sana udah terang dan ramai pula jadi nggak perlu bawa senter. Dan yeah, karena kami tak punya rasa kesetiakawanan, sampai 'puncak'-nya pun nggak barengan, hahaha...

Sampai sana sudah padang jingglang kalau kata Mbak Ririe, dan tak sampai 10 menit aku tiba di atas, matahari pun bangun pagi. Subuh pun lenyap. Keren keren. Cuma Bukit Sikunir tuh rame pisan. Aku cerita ke temenku, eh dia nanya, "Kenapa yang gak di gunung sebelahnya aja? Kan masih perawan tuh." Di sebelah Bukit Sikunir banyak bukit-bukit lainnya. Jiah... kalau ada yang manduin di bukit lain sih mau-mau aja. Yak, dan apa yang kami lakukan di atas Sikunir??? Oh tentu saja foto-foto... ngok.

Rame pisundd... 

Narseeesss narseeesss...

Sambil menunggu letih akibat jalan naiknya, kami pun foto-foto ria. Mbak Ririe Khayan saking narsisnya, baterai kameranya pun habis ketika kami di Bukit Sikunir. Mbak Ririe bergaya dengan selendangnya, Mbak Alaika dengan gaya Patung Pancorannya, Mbak Idah dengan gaya mecucunya, dan eike yang tak bergaya. Kalau Kata Mbak Ririe, gaya eike kayak anak TK po SD. Cuma berdiri, masukin tangan ke saku, dan yak senyum kadang meringis. Nggak heboh blas. Memang, saya itu tak narsis dan tak terlalu suka difoto. *ngapusi polll!

Fotogenik sekali...

Patung Pancoran pindah nang nDieng.

Ndilalahnya, di sana ada beberapa turis bule Perancis. Dan tahu nggak, siapa yang paling histeris??? Ialah Mbak Ririe. Eike yang masih abege aja nggak sebegitunya. Nah dari awal Mbak Ririe pengen minta foto gitu sama bulenya, tapi isin isin kucing ngono. Sampai akhirnya pas baru mau turun dari Sikunir, berhasil foto. Sayang, barengan. Padahal kan Mbak Ririe maunya foto berduaan ajah sama ono noh...

Tebak gunung apa noh, nek iso tak kei hadiah...

Di atas ada yang jualan ngombe gitu, kami pun membeli minuman. Coffee mix untuk Mbak Idah, Milo untuk aku dan Mbak Ririe (melu-melu dia), dan teh untuk Mbak Alaika. Setelah menghabiskannya, kami pun turun. Dan turun inilah part yang paling aku nggak suka dari naik-naik bukit! Kalau kebanyakan orang suka jalan turunan, eike benci banget, huweee! Nasib gemuk gini nih... yah tapi bismillah lah...

Tangan gue keren ya...

Kemproh, lensanya kotor...

Coba tiga orang itu bisa disingkirkan.

Kami pun kemudian melanjutkan perjalanan ke Kawah Sikidang...

❤❤❤