Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jalan: Hok An Kiong & Buddhist Monastery Mendut

Baru saja sampai Bandara Adisucipto, kami (saya dan Affi, sepupu saya) dijemput oleh bapak saya yang kini tampilannya berbeda. Dikucir bo’! Mirip seniman gitu lah. Kami diajak bapak ke Coklat, sebuah tempat seperti Dapur Cokelat yang lumayan tersohor di Jogja. Istilahnya tempat nongkrong lah. Eh kok ya tutup, langsung ke Dunkin Donuts, Jalan Kaliurang. Setelah itu langsung cao ke Muntilan!

Entah kenapa atau saking banyaknya tempat bagus di Muntilan, bapak saya sering banget mengajak pergi ke daerah Muntilan. Beberapa bulan lalu, saya diajak mengunjungi kuburan Van Lith di Magelang. Sekarang kami diajak ke kelenteng Hok An Kiong dan Buddhist Monastery di Muntilan dan Mendut.

Sebelum ke Jogja, saya dan Affi pergi melancong ke Bali yang tujuan utamanya adalah bertamu ke rumah Ketut Liyer (korban Eat, Pray, Love). Sepupu saya ingin sekali diramal olehnya. Yah meski katanya, jangan percaya ramalan. Betul sekali, yang bagus-bagus aja yang dipercaya, yang buruk ya anggap saja anjuran untuk menghindari hal-hal buruk. Hari kelima saya di Bali, kami mencoba untuk pergi ke Pengosekan, Ubud. Dan uh-oh, ternyata Mangku Ketut Liyer tutup tiga hari dan salah satunya hari di saat kita sana. Langsung kami merengut. Hahaha...

Klenteng Hok An Kiong
Mendengar cerita itu, bapak saya langsung kepalanya berlampu memberikan ide. Ia mengajak kita ke Klenteng Hok An Kiong yang katanya ada yang bisa ngeramal. Saya lupa jalan apa, tapi klenteng itu terletak di Muntilan. Gerbang tinggi berwarna merah sudah di depan mata, mobil kami mengarah ke sana. Kami disambut oleh Pak Panut, penunggu klenteng keturunan Tionghoa yang bisa ‘meramal’ itu. Langsung kami ditanyai huruf depan nama kami dan tanggal lahir. Selain itu, kami diminta nomor telepon genggam untuk dilihat. Katanya yang baik yang nol-nya hanya 1, karena kalau lebih menunjukkan memiliki mimpi yang akan tertunda-tunda. Pak Panut menebak sifat kami dan kebanyakan memberi tips-tips hidup. Aku juga tak percaya ramalan sepenuhnya, tapi nasehat orang tua, boleh juga.

Saya juga baru tahu perbedaan antara klenteng dan Vihara. Klenteng adalah tempat ibadah untuk kaum Konghucu (konfusianis) sedangkan Vihara untuk agama Buddha. Karena dulu Konghucu tidak diakui yaaa dianggapnya sama. Tapi saya juga nggak ngerti, kenapa di klenteng ada tiga pilihan: Konghucu, Buddha Sakyamuni, dan Taoisme. Ah tau’ ah.

Pak Panut meng-guide kita di dalam klenteng itu. Dimulai dari pintu masuk terdapat penjaga yang bernama Mui Sin, dan dipajang di depan sebuah lukisan laut dan tulisan Cina yang artinya kekayaan sebesar lautan yang diharapkan, orang yang memasukinya akan mendapat kekayaan sebesar lautan. Setelah memasuki pintu, terdapat gentong emas. Kata Pak Panut, di sana semua agama bisa berdo’a. Karena di situ tempat berdo’a untuk Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Baru yang sesudah itu kepada dewa-dewa, dan itu ada urutannya, saya juga nggak hapal :p Setelah berdo’a, keluar dari pintu yang berbeda. Di atas pintu ditulis: kebijakan sebesar gunung, sama harapannya dengan pintu pertama. Abis dari klenteng, cao ke Mendut.
Di Depan Buddhist Monastery
Saya kira akan ke Candi Mendut ternyata ke Buddhist Monastery sebelah Candi. Sayang sekali kami tidak bisa masuk karena lagi ada meditasi. Kami hanya melihat-lihat di luarnya, beberapa orang berjalan kaki memutar taman yang tengahnya ada patung Buddha. Katanya dalam meditasi itu orang tidak boleh berbicara selama waktu meditasi dan karena akhir tahun meditasinya dalam waktu tujuh hari. Nggak kebayang nggak ngomong dalam tujuh hari :o Dan kayaknya terbuka untuk semua agama, karena aku lihat ada ibu-ibu berjilbab yang jalan diam di dalam ‘pesantren’ itu.

Kecewa, kami akhirnya memasuki semacam aula yang berada di bagian depan monastery itu. Di dalamnya terdapat empat patung buddha. Buddha tidur, buddha berwarna emas, dan buddha yang dilihatkan dalam sisi feminis (hayo lah gimana itu) yang juga berwarna emas. Kami menyalakan dupa yang tersedia di sana, dan nyolong-nyolong foto di sana (takut ketahuan satpamnya). Aku menyalakan banyak dupa dengan salah satunya dupa berwarna putih yang terbuat dari cendana, dan kayaknya satu-satunya yang ada di tempat dupa itu, maaf ya :p

Demikianlah perjalanan kami, lalalala. Salam Una.

2 komentar untuk "Jalan: Hok An Kiong & Buddhist Monastery Mendut"

  1. bolak balik ke Mendut, ga pernah tau ada klenteng ini, mungkin jika plesir ke jateng lagi, tempat ini kudu dimampirin nih. tks ya Na infonya.

    BalasHapus
  2. Hihi klentengnya gak terkenal sih mbak x)

    BalasHapus