Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hidup Bertetangga di Jepang

Kalau lihat di drama dan film Jepang, kalau ada orang pindahan biasanya ia bakal mampir ke beberapa rumah sekitarnya untuk memperkenalkan diri. Biasanya, si orang yang baru pindahan bakal memberi hadiah seperti kue untuk para tetangga.

Sebelum sampai ke Jepang, aku membayangkan kalau harus melakukan hal seperti ini.

Apartemen tempat tinggalku pertama merupakan bangunan lima lantai, yang lantai pertama merupakan rumah pemilik, sebagian kamar di lantai dua disewakan untuk AirBnB, lantai tiga dan empat disewakan untuk sewa jangka panjang, dan lantai lima adalah ruang cuci dan rooftop.

Kamarku berada di lantai dua, tepat sekali depan tangga, dan aku bersyukur sekali karena aku ngga harus naik turun dengan anak tangga yang banyak. Karena beberapa kamar di lantai dua disewakan untuk sewa harian, jadi penghuninya tiap hari berbeda. Waktu itu sebelum korona, jadi kamar sering disewa oleh wisatawan.

Kenalan sama tetangga?

Ngga ada sama sekali. Bahkan cuma sekali dua kali lihat tetangga. Seringnya hanya melihat wisatawan yang menyewa kamar sebelah.

Aku hanya kenalan dengan pemilik apartemen, yang merupakan seorang ibu tua yang tinggal seorang diri. Aku pernah diajak masuk ke bagian rumah tempat tinggalnya sambil ia menjelaskan tentang cerita soal dirinya dan barang-barang dekorasi di rumahnya.

Suatu hari di tempat kerja, aku berpasangan dengan Yamazaki-san, seorang perempuan yang aku taksir berumur 40-an tahun tapi tinggal sendiri di apartemen. Aku kurang tahu apakah dia pernah menikah sebelumnya atau tidak. 

Aku bertanya kepadanya soal hidup bertetangga di Jepang. Aku bertanya apakah ia mengenal tetangganya dan apakah sebaiknya aku memperkenalkan diri kepada para tetangga. Tapi ternyata jawabannya cukup mengagetkanku.

"Jangan! Jangan pernah berkenalan dengan tetangga di apartemenmu. Bahaya. Karena kamu tidak tahu bahwa bisa saja orang itu bakal jahat sama kamu."

Eh? 👀

Cukup berbeda dengan yang aku lihat di film-film ya. Lagian kalau misal kita tinggal sendiri dan ada apa-apa, trus kita ngga tahu tetangga kita, kan susah ya.

Kata Yamazaki-san lagi, memang kalau jaman dulu, orang Jepang masih sering berkenalan dengan tetangga. Tapi praktik itu sekarang sudah jarang, apalagi di kota besar.

Sekarang aku tinggal di apartemen berbeda dari yang pertama. Pemilik apartemen sekarang adalah seorang pengusaha importir kulit yang kantornya ada di lantai pertama. Apartemen sekarang memiliki tiga lantai dan rooftop, lebih luas dari apartemen pertama, meski kamar lebih sempit. Jumlah kamarnya lebih banyak dan lagi-lagi aku tidak kenal dengan tetanggaku.

Bahkan dengan pemilik apartemen aku tidak kenal dan tidak pernah menyapa. Satu-satunya orang yang aku kenal adalah Kitade-san, seorang pekerja di perusahaan pemilik apartemen yang tugasnya mengurusi soal apartemen.

Tapi aku kenal dengan satu tetanggaku deng.

Ceritanya cukup bikin deg-degan.

Suatu malam, bel kamarku berbunyi. Saat itu aku sedang mengingat-ingat kalau sedang tidak menunggu barang yang dipesan. Saat aku lihat dari lubang intip pintu, aku kaget, itu siapa? Seorang laki-laki di depan pintu kamarku itu tidak memakai seragam kurir manapun.

Setelah aku buka pintunya, ia mengaku kalau ia adalah tetangga yang tinggal di kamar nomor sekian, di lantai yang sama. Ia butuh telepon untuk menelepon kakak laki-lakinya. Saat itu, hape dia tidak bisa digunakan karena salah password. Ia bilang kakaknya baru saja memberikan hapenya itu.

Ia bilang ia akan membayar uang untuk mengganti biaya teleponnya. Aku yang agak deg-degan mempersilakan laki-laki itu masuk ke kamarku.

Duh takut.

Aku juga mempersilakannya menggunakan komputerku untuk mencari cara menyalakan iPhone kalau tidak tahu passwordnya. Beberapa kali dia bolak-balik ke kamarnya karena ia harus mencatat nomor telepon temannya yang ia punya janji untuk bertemu keesokan harinya.


Kayaknya lebih dari setengah jam ia ada di kamarku karena harus menunggu telepon balik dari kakaknya, dan lain-lain. Sambil menunggu dan mencari cara membuka iPhone di internet, kami saling berkenalan dan ia bahkan menuliskan namanya di memo karena tahu aku orang asing. Kami juga bertukar Twitter.

Setelah urusannya selesai, ia bertanya padaku:

"Kamu sudah mandi?"

WAT DE FAK? Aku makin deg-degan. Apa-apaan nih.

"Belum sih...... emang kenapa?"

"Oh, kalau belum. Ayo kita mandi di sento pojok sana. Enak loh mandi di sana. Nanti aku traktir mandinya."

Aku langsung lega. Kirain mau ngapain. 😩 Sento adalah pemandian umum dan memang sento dekat rumah itu sento tua yang historis. Katanya, sento itu dikelola oleh perusahaan sento yang cukup terkenal di Jepang.

Aku menolak karena ogah juga mandi di sento barengan orang lain. Kemudian ia balik ke kamarnya dan membawa sekaleng soda untukku.

Setelah dari itu, hanya sekali dua kali kita papasan tapi tidak ngobrol apa-apa. Fiuhhh...

Gimana ya, kalau ngga kenal tetangga gini. Kalau pas ada tetangga kesusahan kaya gini, mau bantu, tapi ada rasa takut dan deg-degan kali aja sebenarnya dia bukan tetangga kita. 😩

8 komentar untuk "Hidup Bertetangga di Jepang"

  1. Duh deg-degan juga mbak baca ceritanya. Ternyata beda negara, beda budaya ya. Mau ramah tamah di Jepang, malah (hampir) kena masalah. Beda banget sama di Indonesia ya mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di Indonesia kayaknya makin ke sini makin ngga kenal sama tetangga juga kan.

      Hapus
  2. kayaknya di Indonesia juga kalau di apartemen udah mulai gak kenal tetangga ya na. Temen aku ada yang tinggal di apartemen dan gak ada yang kenal tetangga sama sekali. padahal udah 2 tahunan. Aku sendiri kenal seh sama tetangga, tapi gak berkomunikasi aktif juga karena malas aja, hahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Di Jakarta apalagi, ngga apartemen pun juga ngga kenal.
      Males ya urusan sama tetangga, nanti drama pula...

      Hapus
  3. Di mana-mana kayaknya udah kayak gini ya Una...Jangankan yang tinggal di apartemen, yang msh di komplek aja banyak yang udah gak kenal tetangga lagi 😅.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaaa, Mbak. Di rumahku di Jakarta juga udah ngga begitu kenal sama tetangga, dikit doang paling kenal.

      Hapus
  4. Kadang saya suka ngebayangin tinggal di apartemen/perumahan gitu, tapi suami & anak suka bilang, "Ibu ngga kan bisa tinggal di lingkungan kayak gitu. Nanti ngga ada yang teriak-teriak manggil lho, ngga ada yang ujug2 dateng minta daun sirih. ". Hihihi, itu karena saya tinggal di perkampungan yang kenal tetangga kiri kanan. Yang kalau lewat suka saling sapa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, sepi ya kalau ngga ada yang manggil-manggil. Di Jakarta, ngga di perumahan pun kadang suka ngga kenal tetangga T___T

      Hapus