Dolan nyang Kasunanan

Kecele di Pura Mangkunegaran karena tutup, ya nggak bikin aku langsung mutung (putus asa) dong ah. Boong deng, aslinya aku mutung... nggak bisa ke rumah Paundra, heuheuheu. Sekitar setengah jam nunggu Mas Vai, abis itu ke Kasunanan.

Aku baru tau istilah Kasunanan ya kemarin itu, sebelumnya aku tahunya ya Keraton Solo utawa Keraton Pakubuwono gitu. Ternyata orang sana nyebutnya Kasunanan. Jalan dari alun-alun utara, lalu ke Siti Hinggil. Bisa masuk lewat sana tapi katanya lebih mahal dan seingatku masuk Siti Hinggil bisa lewat samping. Ra mbayar. Salah jalan, keluar lagi lalu ke arah Kori (Pintu Gerbang) Kamandungan.

Beli tiket per orang 10.000, kemudian jalan ke arah tempat masuk sesuai petunjuk si mbak-mbak jual tiket. Kata orang-orang sih, Keratonnya biasa wae. Tapi tetep aja eike penasaran dan ekspektasiku sih Kasunanan jauh lebih apik tinimbang Keraton Kasepuhannya Cirebon, yang mana di sana banyak orang minta-minta gitu. Be-te.

Panggung Sangga Buwana. Katanya sih, itu tempat ketemuan si raja dan Nyi Roro Kanjeng Ratu Kidul. Auk dah tuh...

Sebelum ke ruang pajang pamerannya, kami ke halaman Sasana Sewaka dulu. Nah di sini diwajibkan untuk memakai sepatu/sepatu sandal, kalau pakai sandal disuruh nyeker... Kalau aku sih ogah deh nyeker, wkwkwk! Plus pakaian rapi lah ya, nggak boleh pake kaos kutungan atau celana pendek. Entah perasaanku atau gimana ya, abdi dalem yang jaga pintu masuk halaman ini juteknya puolll... Kata si Mas Vai sih karena kita bukan bule... heuheuheu.

Halamannya luas, banyak pohon sawonya. Trus batangnya dicat putih, biar apaan sih itu? *kepo. Lalu bisa dilihat menara Panggung Sangga Buwana itu. Lalu Bangsal Sasana Sewakanya sendiri, yang memiliki patung perempuan gothic... hiiii! Ada bangsal juga yang untuk main gamelan. Menurutku sih arsitekturalnya mirip Keraton Jogjakarta. Oya, meski luas, tapi nggak bisa begitu muterin karena ada batas pengunjungnya.

Di sana Mas Vai ketemu temennya. Kasian deh, udah lama banget Mas Vai ngeliatin temennya itu tapi temennya nggak ngeh-ngeh juga. Lima belas menit kemudian baru temennya sadar... heuheu sabar ya mas. :P

Lanjut kami ke ruang displaynya.

Aku curiga ini dari labu.

Isinya ya gitu... ada alat musik tradisional, kereta kencana, lukisan raja-raja, tandu yang dipakai, tapiii kaga banyak yang ada penjelasannya... heuheu. Tipikal museum di Indonesia. Kalau tertarik sejarah kerajaan Mataram Islam malah mending ke Museum Ullen Sentalu. Mbak guide-nya pasti ditanyain silsilah ngerti deh. Nah, malah yang menarik aku ialah Sumur Songo dan tempelan kliping koran mengenai nama kota Solo yang benar. Aku jadi ingat postingan Pak Mars deh...

Mpu Gandring serius lihat keris.

Aku menangkap gambar itu kok jorok ya. Kata Mas Vai enggak. Berarti otak gue lebih kotor daripada otak pria, ahahaha...

Mas Vai bandel, ngelitikin kaki patung... padahal tulisannya Don't Touch. Hmmm...

Nah di tengah-tengah halaman antara ruang pameran ada sumur gitu. Katanya dulu tempat bertapa Pakubuwono kaping IX. Katanya juga kalau minum air itu atau cuci muka, keinginan akan terkabul. Kata abdi dalem yang menjaga sumur itu sih yaaa sesuai kepercayaan sih dan tergantung doanya. Aku sih biasa aja, nggak pengen-pengen coba amat. Si Mas Vai malah bertanya apakah bisa bikin berubah jadi ganteng. Tapi dia gak jadi, malah bilang "nggak percaya aku..." Dia sendiri aja nggak yakin dirinya bisa jadi ganteng... hihihi.

Aku juga jadi nggak nyoba soalnya pas liat mbak-mbak dan mas-mas gitu ambil airnya, harus membayar sejumlah uang ke abdi dalem-nya ntu. Emoh ah, ilfil aku kalau udah pakai bayar-bayar gitu...

Banyune didongake sik.

Mengenai kliping korannya, ada dua artikel. Yang satu ditulis oleh Soedarmono, staf pengajar Sejarah UNS. Yang satu lagi tanggapan artikel yang ditulis oleh Nancy Florida, Guru Besar Kajian Indonesia dan Jawa University of Michigan Ann Arbor Michigan USA (nama sekolahnya panjang bener...). Pak Soedarmono sih berpendapat kalau lebih baik menggunakan istilah Sala, karena istilah Surakarta menurut beliau terlalu kolonial dan digunakan Belanda untuk menamai karesidenan, Karesidenan Surakarta. Bahkan ia meminta Jokowi-AhokRudy untuk mengganti nama kota. Yaelah... wkwkwk.

Kalau Solo sendiri ialah istilah yang mengindonesia yang mengacuhkan kaidah fonetik Bahasa Jawa. Sementara, si Bu Florida memaparkan bahwa istilah Surakarta sudah dipakai sejak dulu kala, dalam Babad Giyanti, Babad Prayut, Babad Surakarta, selalu nyebutnya Surakarta. Kata Sala baru populer akhir abad 19. Auk ah mumet...

Sebenernya aku masih penasaran, kalau di Jogja kan abdi dalem tuh punya nama yang dikasih Sultan, dan di KTP pun namanya ada dua terpisah garis miring gitu. Di Solo gimana ya... hmmm... 

❤❤❤