Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gegar Budaya dalam Negeri

Delapan tahun lalu, aku datang ke Jepang untuk mengikuti program pemuda yang dihadiri oleh ratusan partisipan dari sepuluh negara Asia Tenggara. Saat itu, aku cukup terkejut dengan kebersihan Jepang. Tidak ada satu pun kegiatan yang ngaret dari jadwalnya dan susahnya mencari tempat sampah di tempat umum. Namun, setelah kuingat lagi, yang paling mengagetkanku adalah kenyataan bahwa teh botolan di Jepang hampir tidak ada yang manis. Maklum, sebelumnya aku hanya kenal dengan produk teh botolan yang biasa diminum dengan apa pun makanannya—kautahu, ‘kan?

Dua tahun lalu, aku kembali lagi datang ke Jepang untuk melanjutkan pendidikan. Saat itu, ada banyak gegar budaya baru yang aku rasakan. Aku baru mengetahui betapa ruwetnya sistem menyewa rumah atau kamar di Jepang. Selain itu, aku baru sadar bahwa perbankan di Jepang pun tidak secanggih dan semurah di Indonesia. Contohnya, ATM tidak beroperasi 24 jam. Kalau beroperasi pun ada biaya tambahan. Bahkan, transfer sesama bank ada biaya transaksinya. Capek, deh!

Akan tetapi, sebetapa mengherankannya perbedaan budaya dan sistem yang ada di Jepang atau di luar negeri, masih lebih mencengangkan gegar budaya yang dialami di dalam negeri.




Nama Guruku Buang

Waktu aku kecil, bapak dan ibuku sering mengantarkanku memeriksakan gigi di rumah sakit ibu dan anak dekat rumah. Aku masih ingat sampai sekarang bahwa dokter gigiku bermarga Batubara. Saat itu, aku mungkin masih TK dan cukup kaget karena ada nama orang Batubara. Batubara ‘kan salah satu bahan bakar? Kok, nama orang lugas sekali, ya? Belakangan, orang tuaku memberitahu bahwa Batubara adalah salah satu marga Batak.

Setelah masuk sekolah dasar, ada salah satu guru bernama Buang. Aku pun punya beberapa teman yang bernama Ribut. Sampai saat ini, aku masih selalu kaget kalau ada orang Indonesia yang memilki nama yang sedikit aneh di telingaku.  

Orang Tua Temanku Memakai Saya-Anda 

Aku lahir dalam keluarga Jawa yang selalu menggunakan kata aku untuk kata ganti orang pertama dalam percakapan dengan keluarga atau teman dekat. Aku tidak pernah mendengar bapak dan ibuku menggunakan kata saya saat saling bercakap. Kata aku dianggap lebih terkesan arogan dan egois, sedangkan saya terlihat lebih sopan dan rendah hati. Sebaliknya, di keluarga besarku, kalau ada yang menggunakan saya dalam percakapan biasa, malah seperti sedang berlagak sok arogan. Itu tidak termasuk kalau sedang ada acara keluarga yang formal, ya.

Suatu hari saat aku SMA, aku menumpang mobil teman sekelasku. Bapaknya menyetir dan ibunya duduk di sebelahnya. Aku mendengar mereka menggunakan saya dan Anda dalam percakapannya. Ha, ada juga yang memakai saya dengan suaminya sendiri? Aku baru tahu. Bagiku, itu terdengar seperti ada jarak di antara mereka. Ya, aku mainnya memang kurang jauh.

Kita Udah Nikah? 

Aku sempat berlibur ke Tana Toraja bersama sepupu saat aku kuliah. Kami menyewa ojek seharian untuk mengantar kami mengunjungi berbagai tempat wisata di Tana Toraja. Saat perjalanan, kadang-kadang bapak pengemudi ojek menceritakan tentang Toraja dan mengajukan beberapa pertanyaan kepadaku. Ada satu pertanyaan yang membuatku menganga.

“Kita udah nikah?”

Aku sangat kebingungan, tidak mengerti maksudnya. Aku juga ketakutan kalau-kalau ia mengajakku menikah. “Kamu udah menikah?” Ia mengulangi pertanyaannya lagi. Aku langung lega karena ternyata ia bermaksud menanyakan itu. Ternyata kita dalam bahasa Makassar dan di Sulawesi Selatan berarti ‘kamu’.

Aku jadi rindu untuk pulang ke Indonesia dan mengalami gegar-gegar budaya lain yang belum aku alami.

7 komentar untuk "Gegar Budaya dalam Negeri"

  1. Baru tahu kalau di jepang sistem perbankan agak ribet ternyata ya, malah agak maju Indonesia ya. Malahan sekarang kita udah buka rekening online loh, proses dalam hitungan jam.

    BalasHapus
  2. Nama keluarga orang Jerman juga banyak yg aneh klo diartikan ke bhs Jerman atau Indonesia, ada "pemberi garam" ; Schneider (tailor) ; Fischer (fisherman) ; Becker (baker) masih banyak lainnya :D .

    Itu suami istri yg pakai "Anda" mungkin lagi berantem, gak mau ngomong tp harus ngomong yg penting, ngengsi pakai panggilan sayang jd pakai formal aja :lol:

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu kalau sesama orang Jerman gitu suka culture shock ngga? Kalau misal nama keluarganya agak jarang gitu?

      Hapus
  3. Aku juga dulu merasa aneh sekali dengan nama guru aku yang RAJAGUKGUK. Rasanya sampai udah lulus masih aneh. Berasa udah biasa aja setelah mendengar nama-nama marga yang lain juga sama seperti itu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ih, sama! Waktu aku SMA ada juga guru marganya Rajagukguk, syok sih.

      Hapus
  4. Wooh. Malah aku versi paling kasar. Dirumah memang pake gua sama lu. Hahahaha. Tp ga kasar sih krn memang dari kecil udah pake. Malah aneh kalau pakai aku sama saya. Kesannya jauh gimana. Beda2 ya.

    BalasHapus