Tersinggunglah, Lagi!
Tersinggunglah, lagi!
*mengacu pada blog Tersinggunglah!
*mengacu pada blog Tersinggunglah!
Membaca artikel Roy Thaniago berjudul Tersinggunglah! saja saya sudah begitu tertampar, apalagi baca tulisan yang singkat yang akan saya ceritakan ini. Barusan saya melihat status Facebook saudara sepupu saya, yang pengen banget masuk jurusan Sastra Jawa atau Batak, “bingung..kenapa belajar b.jawa harus ke belanda?b.jawa kan punya indonesia..hmm,” jauh lebih tertampar saya. Sebagai anak brojolan asli Jawa –oke, ¾ Jogja, ¼ Pekajangan- kok saya merasa budaya Jawa justru milik Londo. Kalau kata sepupu saya ini, lha wong sudah merdeka dari Londo kok masih ada milik kita yang masih jadi milik mereka.Waktu itu saya ke Gramedia iseng-iseng cari kamus bahasa daerah apa gitu – Indonesia, dan saya liat Kamus Bahasa Jawa Kuna itu yang ngarang orang Belanda! Belum lagi batu nisan rama-rama Belanda di Indonesia yang juga memakai Bahasa Jawa, dan yang paling bikin jiper sekali ada seorang Belanda yang tahu banyak mengenai kebudayaan Jawa, bisa baca aksara Jawa, tahu sejarah Jawa, suatu kali menanyaiku tentang wayang dan gamelan, dan bodohnya saya tidak tahu sama sekali! Aseeemmm… (Isin aku, raiku delehke ngendi iki… Hayo artinya apa?!)
Saya pernah ngobrol-ngobrol mengenai perkembangan wayang dengan seorang dalang yang bermukim di sekitar Kulonprogo, namanya Pak Mul. Pak Mul ini adalah satu dari 29 orang dalang yang tersisa di Jogja, kalau saya tidak salah. (Maaf, lupaa…!!) Kata beliau, keadaan seni budaya Indonesia kian hari kian memprihatinkan. Ini disebabkan oleh pemikiran orang Indonesia. Terbalik dengan pemikiran orang Barat. Orang Barat sangat menghargai seni, seni dianggap sesuatu yang khas, rumit, dan sangat bernilai makanya harus dipelajari. Sedangkan orang Indonesia lebih tertarik dengan teknologi, yang mana teknologi itu bisa diutek-utek lagi tidak seperti seni yang merupakan budaya turun temurun yang harus dijaga dan ngga bisa diutek-utek atau diubah-ubah lagi kecuali seni kontemporer. Kemudian, penginventarisasian budaya dan pengelolaan seni belum dikoordinasi secara bagus di Indonesia. Pernah aku baca, katanya baru tiga provinsi yang menginventarisasikan seni budayanya. Pak Mul, sebagai dalang, sangat menghormati profesinya itu. Ia menyebutkan kata totalitas yaitu bahwa seorang dalang yang total itu membuat wayang dan membuat gamelan karawitannya sendiri. Pak Mul sangat bersyukur, meski pun anak-anaknya tak ada yang menjadi dalang, namun semua anaknya diwarisi dan diajari keahlian membuat wayang.
Akhir-akhir ini sering banget kita dengar, bahwa Malaysia mencuri kebudayaan kita dari lagu Soleram, Tari Pendet, Reog Ponorogo, tenun Kalimantan, lagu Rasa Sayang-Sayange, dan lain-lain. Begitu banyak orang Indonesia yang geram karena hal tersebut. Tapi kalo ditilik lagi, kenapa harus marah wong sebelumnya aja ngga dipeduliin dan dijaga.(peace!) Biar kebudayaan Indonesia ngga punah, paling ngga anak diajari bahasa daerahnya dan diajari apa kek gitu nari, nyanyi lagu daerah dari Bungong Jeumpa ampe Yamko Rambe Yamko, main alat musik daerah atau apa kek gitu. (Pertamanya nulisnya serius, terakhir-akhirnya bingung mau nulis apa hahaha.)
Mari kita melestarikan kebudayaan kita! Jayalah terus Indonesia!
*ah pokoke nanti nak duwe anak, tak ajari Basa Krama Inggil meskipun sekarang aku ngga bisa hahaha.
Saya pernah ngobrol-ngobrol mengenai perkembangan wayang dengan seorang dalang yang bermukim di sekitar Kulonprogo, namanya Pak Mul. Pak Mul ini adalah satu dari 29 orang dalang yang tersisa di Jogja, kalau saya tidak salah. (Maaf, lupaa…!!) Kata beliau, keadaan seni budaya Indonesia kian hari kian memprihatinkan. Ini disebabkan oleh pemikiran orang Indonesia. Terbalik dengan pemikiran orang Barat. Orang Barat sangat menghargai seni, seni dianggap sesuatu yang khas, rumit, dan sangat bernilai makanya harus dipelajari. Sedangkan orang Indonesia lebih tertarik dengan teknologi, yang mana teknologi itu bisa diutek-utek lagi tidak seperti seni yang merupakan budaya turun temurun yang harus dijaga dan ngga bisa diutek-utek atau diubah-ubah lagi kecuali seni kontemporer. Kemudian, penginventarisasian budaya dan pengelolaan seni belum dikoordinasi secara bagus di Indonesia. Pernah aku baca, katanya baru tiga provinsi yang menginventarisasikan seni budayanya. Pak Mul, sebagai dalang, sangat menghormati profesinya itu. Ia menyebutkan kata totalitas yaitu bahwa seorang dalang yang total itu membuat wayang dan membuat gamelan karawitannya sendiri. Pak Mul sangat bersyukur, meski pun anak-anaknya tak ada yang menjadi dalang, namun semua anaknya diwarisi dan diajari keahlian membuat wayang.
Akhir-akhir ini sering banget kita dengar, bahwa Malaysia mencuri kebudayaan kita dari lagu Soleram, Tari Pendet, Reog Ponorogo, tenun Kalimantan, lagu Rasa Sayang-Sayange, dan lain-lain. Begitu banyak orang Indonesia yang geram karena hal tersebut. Tapi kalo ditilik lagi, kenapa harus marah wong sebelumnya aja ngga dipeduliin dan dijaga.(peace!) Biar kebudayaan Indonesia ngga punah, paling ngga anak diajari bahasa daerahnya dan diajari apa kek gitu nari, nyanyi lagu daerah dari Bungong Jeumpa ampe Yamko Rambe Yamko, main alat musik daerah atau apa kek gitu. (Pertamanya nulisnya serius, terakhir-akhirnya bingung mau nulis apa hahaha.)
Mari kita melestarikan kebudayaan kita! Jayalah terus Indonesia!
*ah pokoke nanti nak duwe anak, tak ajari Basa Krama Inggil meskipun sekarang aku ngga bisa hahaha.
wah, ojo tersinggung dong. hehee
BalasHapusekspresikan dunia mu di blogger!!
BalasHapussalam blogger!